MALU, AKHLAK UMAT ISLAM
Dari Abu Mas’ûd ‘Uqbah bin ‘Amr al-Anshârî
al-Badri radhiyallâhu ‘anhu ia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, ‘Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui oleh
manusia dari kalimat kenabian terdahulu adalah, ‘Jika engkau tidak malu,
berbuatlah sesukamu.’”
Pengertian Malu
Malu adalah satu kata yang mencakup perbuatan
menjauhi segala apa yang dibenci.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullâh berkata, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr. Hidup dan matinya hati seseorang sangat mempengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.
Al-Junaid rahimahullâh berkata, “Rasa malu
yaitu melihat kenikmatan dan keteledoran sehingga menimbulkan suatu kondisi
yang disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk
meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.
Definisi ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.
Definisi ialah bahwa malu adalah akhlak (perangai) yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.
Keutamaan Malu
1). Malu pada hakikatnya tidak mendatangkan
sesuatu kecuali kebaikan. Malu mengajak pemiliknya agar menghias diri dengan
yang mulia dan menjauhkan diri dari sifat-sifat yang hina.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ.
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan
kebaikan semata-mata.” (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
Dalam riwayat Muslim disebutkan,
اَلْـحَيَاءُ خَيْرٌ كُلُّهُ.
“Malu itu kebaikan seluruhnya.”
Malu adalah akhlak para Nabi , terutama pemimpin mereka, yaitu Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih pemalu daripada gadis yang sedang dipingit.
2). Malu adalah cabang keimanan.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
َاْلإِيْمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً، فَأَفْضَلُهَا
قَوْلُ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ،
وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ َاْلإِيْمَانُ.
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam
puluh cabang. Cabang yang paling tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’
dan yang paling rendah adalah menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan
malu adalah salah satu cabang Iman.”
3). Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
3). Allah Azza wa Jalla cinta kepada orang-orang yang malu.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ حَيِيٌّ سِتِّيْرٌ يُـحِبُّ الْـحَيَاءَ وَالسِّتْرَ
، فَإِذَا اغْتَسَلَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَتِرْ.
“Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla Maha Pemalu,
Maha Menutupi, Dia mencintai rasa malu dan ketertutupan. Apabila salah seorang
dari kalian mandi, maka hendaklah dia menutup diri.”
4). Malu adalah akhlak para Malaikat.
4). Malu adalah akhlak para Malaikat.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
أَلاَ أَسْتَحْيِ مِنْ رُجُلٍ تَسْتَحْيِ مِنْهُ الْـمَلاَ ئِكَةُ.
“Apakah aku tidak pantas merasa malu terhadap
seseorang, padahal para Malaikat merasa malu kepadanya.”
5). Malu adalah akhlak Islam.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
إِنَّ لِكُلِّ دِيْنٍ خُلُقًا وَخَلُقُ اْلإِسْلاَمِ الْـحَيَاءُ.
“Sesungguhnya setiap agama memiliki akhlak, dan
akhlak Islam adalah malu.”
6). Malu sebagai pencegah pemiliknya dari
melakukan maksiat.
Ada salah seorang Shahabat Radhiyallahu 'anhu
yang mengecam saudaranya dalam masalah malu dan ia berkata kepadanya, “Sungguh,
malu telah merugikanmu.” Kemudian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda.
دَعْهُ ، فَإِنَّ الْـحَيَاءَ مِنَ الإيْمَـانِ.
“Biarkan dia, karena malu termasuk iman.”
Abu ‘Ubaid al-Harawi rahimahullâh berkata,
“Maknanya, bahwa orang itu berhenti dari perbuatan maksiatnya karena rasa
malunya, sehingga rasa malu itu seperti iman yang mencegah antara dia dengan
perbuatan maksiat.”
7). Malu senantiasa seiring dengan iman, bila
salah satunya tercabut hilanglah yang lainnya.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا
رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Malu dan iman senantiasa bersama. Apabila
salah satunya dicabut, maka hilanglah yang lainnya.”
8). Malu akan mengantarkan seseorang ke Surga.
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
اَلْـحَيَاءُ مِنَ اْلإِيْمَانِ وَ َاْلإِيْمَانُ فِـي الْـجَنَّةِ ، وَالْبَذَاءُ
مِنَ الْـجَفَاءِ وَالْـجَفَاءُ فِـي النَّارِ.
“Malu adalah bagian dari iman, sedang iman
tempatnya di Surga dan perkataan kotor adalah bagian dari tabiat kasar, sedang
tabiat kasar tempatnya di Neraka.
Malu adalah warisan para
Nabi terdahulu
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda , “Sesungguhnya salah satu perkara yang telah diketahui manusia dari
kalimat kenabian terdahulu…"
Maksudnya, ini sebagai hikmah kenabian yang
sangat agung, yang mengajak kepada rasa malu, yang merupakan satu perkara yang
diwariskan oleh para Nabi kepada manusia generasi demi generasi hingga kepada
generasi awal umat Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di antara
perkara yang didakwahkan oleh para Nabi terdahulu kepada hamba Allah Azza wa
Jalla adalah berakhlak malu. Sesungguhnya sifat malu ini senantiasa terpuji,
dianggap baik, dan diperintahkan serta tidak dihapus dari syari’at-syari’at
para nabi terdahulu.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Salllam Adalah Sosok Pribadi Yang Sangat Pemalu
Allah Azza wa Jalla berfirman :
"Artinya : Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu memasuki rumah- rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk
Makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya)[1228], tetapi jika
kamu diundang Maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa
asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu
Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu
(menerangkan) yang benar"
Abu Sa’id al-Khudri rahimahullah berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ حَيَاءً مِنَ الْعَذْرَاءِ
فِـيْ خِدْرِهَا.
“Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lebih
pemalu daripada gadis yang dipingit di kamarnya.”
Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.
Imam al-Qurthubi rahimahullâh berkata, “Malu yang dibenarkan adalah malu yang dijadikan Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari keimanan dan perintah-Nya, bukan yang berasal dari gharîzah (tabiat). Akan tetapi, tabiat akan membantu terciptanya sifat malu yang usahakan (muktasab), sehingga menjadi tabiat itu sendiri. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memiliki dua jenis malu ini, akan tetapi sifat tabiat beliau lebih malu daripada gadis yang dipingit, sedang yang muktasab (yang diperoleh) berada pada puncak tertinggi.
Makna Perintah
"Berbuatlah Sesukamu" di Hadits Ini
Sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
, “Jika engkau tidak merasa malu, berbuatlah sesukamu.”
Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, diantaranya:
Ada beberapa pendapat ulama mengenai penafsiran dari perintah dalam hadits ini, diantaranya:
1). Perintah tersebut mengandung arti peringatan dan ancaman
Maksudnya, jika engkau tidak punya rasa malu,
maka berbuatlah apa saja sesukamu karena sesungguhnya engkau akan diberi
balasan yang setimpal dengan perbuatanmu itu, baik di dunia maupun di akhirat
atau kedua-duanya. Seperti firman Allah Azza wa Jalla :
"Artinya : …………….. perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan"
"Artinya : …………….. perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan"
2). Perintah tersebut mengandung arti
penjelasan.
Maksudnya, barangsiapa tidak memiliki rasa
malu, maka ia berbuat apa saja yang ia inginkan, karena sesuatu yang
menghalangi seseorang untuk berbuat buruk adalah rasa malu. Jadi, orang yang tidak
malu akan larut dalam perbuatan keji dan mungkar, serta perbuatan-perbuatan
yang dijauhi orang-orang yang mempunyai rasa malu. Ini sebagaimana sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ.
“Barangsiapa berdusta kepadaku dengan sengaja,
hendaklah ia menyiapkan tempat duduknya di Neraka.
Sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam di
atas bentuknya berupa perintah, namun maknanya adalah penjelasan bahwa
barangsiapa berdusta terhadapku, ia telah menyiapkan tempat duduknya di Neraka.
3). Perintah tersebut mengandung arti
pembolehan.
Imam an-Nawawi rahimahullâh berkata, “Perintah
tersebut mengandung arti pembolehan. Maksudnya, jika engkau akan mengerjakan
sesuatu, maka lihatlah, jika perbuatan itu merupakan sesuatu yang menjadikan
engkau tidak merasa malu kepada Allah Azza wa Jalla dan manusia, maka
lakukanlah, jika tidak, maka tinggalkanlah.”
Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang
pertama, yang merupakan pendapat jumhur ulama.
Malu Itu Ada Dua Jenis
1). Malu yang merupakan tabiat dan watak bawaan
Malu seperti ini adalah akhlak paling mulia
yang diberikan Allah Azza wa Jalla kepada seorang hamba. Oleh karena itu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إلاَّ بِخَيْرٍ.
“Malu tidak mendatangkan sesuatu kecuali
kebaikan.”
Malu seperti ini menghalangi seseorang dari
mengerjakan perbuatan buruk dan tercela serta mendorongnya agar berakhlak
mulia. Dalam konteks ini, malu itu termasuk iman. Al-Jarrâh bin ‘Abdullâh
al-Hakami berkata, “Aku tinggalkan dosa selama empat puluh tahun karena malu, kemudian
aku mendapatkan sifat wara’ (takwa).
2). Malu yang timbul karena adanya usaha.
Yaitu malu yang didapatkan dengan ma’rifatullâh
(mengenal Allah Azza wa Jalla ) dengan mengenal keagungan-Nya, kedekatan-Nya
dengan hamba-Nya, perhatian-Nya terhadap mereka, pengetahuan-Nya terhadap mata
yang berkhianat dan apa saja yang dirahasiakan oleh hati. Malu yang didapat
dengan usaha inilah yang dijadikan oleh Allah Azza wa Jalla sebagai bagian dari
iman. Siapa saja yang tidak memiliki malu, baik yang berasal dari tabi’at
maupun yang didapat dengan usaha, maka tidak ada sama sekali yang menahannya
dari terjatuh ke dalam perbuatan keji dan maksiat sehingga seorang hamba
menjadi setan yang terkutuk yang berjalan di muka bumi dengan tubuh manusia.
Kita memohon keselamatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Dahulu, orang-orang Jahiliyyah –yang berada di
atas kebodohannya- sangat merasa berat untuk melakukan hal-hal yang buruk
karena dicegah oleh rasa malunya, diantara contohnya ialah apa yang dialami
oleh Abu Sufyan ketika bersama Heraklius ketika ia ditanya tentang Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam, Abu Sufyan berkata,
فَوَ اللهِ ، لَوْ لاَ الْـحَيَاءُ مِنْ أَنْ يَأْثِرُوْا عَلَيَّ كَذِبًا لَكَذَبْتُ
عَلَيْهِ.
Artinya :“Demi Allah Azza wa Jalla, kalau bukan
karena rasa malu yang menjadikan aku khawatir dituduh oleh mereka sebagai
pendusta, niscaya aku akan berbohong kepadanya (tentang Allah Azza wa Jalla).
Rasa malu telah menghalanginya untuk membuat
kedustaan atas nama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ia malu
jika dituduh sebagai pendusta.
Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Konsekuensi Malu Menurut Syari’at Islam
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda,
اِسْتَحْيُوْا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ، مَنِ اسْتَحْىَ مِنَ اللهِ حَقَّ
الْـحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا وَعَى وَالْبَطْنَ وَمَا حَوَى وَلْيَذْكُرٍِِِِِِِِِِِِِِ
الْـمَوْتَ وَالْبِلَى، وَمَنْ أَرَادَ اْلأَخِِِِرَة تَرَكَ زِيْنَةَ الدُّنْيَا،
فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدِ اسْتَحْيَا مِنَ اللهِ حَقَّ الْـحَيَاءِ.
Artinya : “Hendaklah kalian malu kepada Allah
Azza wa Jalla dengan sebenar-benar malu. Barang-siapa yang malu kepada Allah
dengan sebenar-benar malu, maka hendaklah ia menjaga kepala dan apa yang ada
padanya, hendaklah ia menjaga perut dan apa yang dikandungnya, dan hendaklah ia
selalu ingat kematian dan busuknya jasad. Barangsiapa yang menginginkan
kehidupan akhirat hendaklah ia meninggalkan perhiasan dunia. Dan barangsiapa
yang mengerjakan yang demikian, maka sungguh ia telah malu kepada Allah Azza wa
Jalla dengan sebenar-benar malu.”
Malu Yang Tercela
Qâdhi ‘Iyâdh rahimahullâh dan yang lainnya
mengatakan, “Malu yang menyebabkan menyia-nyiakan hak bukanlah malu yang
disyari’atkan, bahkan itu ketidakmampuan dan kelemahan. Adapun ia dimutlakkan
dengan sebutan malu karena menyerupai malu yang disyari’atkan.” Dengan
demikian, malu yang menyebabkan pelakunya menyia-nyiakan hak Allah Azza wa
Jalla sehingga ia beribadah kepada Allah dengan kebodohan tanpa mau bertanya
tentang urusan agamanya, menyia-nyiakan hak-hak dirinya sendiri, hak-hak orang
yang menjadi tanggungannya, dan hak-hak kaum muslimin, adalah tercela karena
pada hakikatnya ia adalah kelemahan dan ketidakberdayaan.
Di antara sifat malu yang tercela adalah malu
untuk menuntut ilmu syar’i, malu mengaji, malu membaca Alqur-an, malu melakukan
amar ma’ruf nahi munkar yang menjadi kewajiban seorang Muslim, malu untuk
shalat berjama’ah di masjid bersama kaum muslimin, malu memakai busana Muslimah
yang syar’i, malu mencari nafkah yang halal untuk keluarganya bagi laki-laki,
dan yang semisalnya. Sifat malu seperti ini tercela karena akan menghalanginya
memperoleh kebaikan yang sangat besar.
Tentang tidak bolehnya malu dalam menuntut
ilmu, Imam Mujahid rahimahullah berkata,
لاَ يَتَعَلَّمُ الْعِلْمَ مُسْتَحْيٍ وَلاَ مُسْتَكْبِـرٌ.
Artinya : “Orang yang malu dan orang yang
sombong tidak akan mendapatkan ilmu.” [Atsar shahîh: Diriwayatkan oleh
al-Bukhâri secara mu’allaq dalam Shahîh-nya kitab al-‘Ilmu bab al-Hayâ' fil
‘Ilmi dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam al-Jâmi’ bayânil ‘Ilmi wa Fadhlihi
Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Ummul Mukminin ‘Âisyah radhiyallâhu ‘anha pernah berkata tentang sifat para wanita Anshâr,
نِعْمَ النِّسَاءُ نِسَاءُ اْلأَنْصَارِ ، لَـمْ يَمْنَعْهُنَّ الْـحَيَاءُ أَنْ يَتَفَقَّهْنَ فِـي الدِّيْنِ.
Artinya : “Sebaik-baik wanita adalah wanita
Anshâr. Rasa malu tidak menghalangi mereka untuk memperdalam ilmu Agama.”
Para wanita Anshâr radhiyallâhu ‘anhunna selalu
bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam jika ada permasalahan
agama yang masih rumit bagi mereka. Rasa malu tidak menghalangi mereka demi
menimba ilmu yang bermanfaat.
Ummu Sulaim radhiyallâhu ‘anha pernah bertanya
kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam !
Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak malu terhadap kebenaran, apakah seorang
wanita wajib mandi apabila ia mimpi (berjimâ’)?” Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam menjawab, “Apabila ia melihat air.”
Wanita Muslimah Dan Rasa
Malu
Wanita Muslimah menghiasi dirinya dengan rasa
malu. Di dalamnya kaum muslimin bekerjasama untuk memakmurkan bumi dan mendidik
generasi dengan kesucian fithrah kewanitaan yang selamat. Al-Qur-anul Karim
telah mengisyaratkan ketika Allah Ta’ala menceritakan salah satu anak perempuan
dari salah seorang bapak dari suku Madyan. Allah Ta’ala berfirman,
....“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang
dari kedua perempuan itu berjalan dengan malu-malu, dia berkata, ‘Sesungguhnya
ayahku mengundangmu untuk memberi balasan sebagai imbalan atas (kebaikan)mu
memberi minum (ternak kami)…”
Dia datang dengan mengemban tugas dari ayahnya,
berjalan dengan cara berjalannya seorang gadis yang suci dan terhormat ketika
menemui kaum laki-laki; tidak seronok, tidak genit, tidak angkuh, dan tidak
merangsang. Namun, walau malu tampak dari cara berjalannya, dia tetap dapat
menjelaskan maksudnya dengan jelas dan mendetail, tidak grogi dan tidak
terbata-bata. Semua itu timbul dari fithrahnya yang selamat, bersih, dan lurus.
Gadis yang lurus merasa malu dengan fithrahnya ketika bertemu dengan kaum
laki-laki yang berbicara dengannya, tetapi karena kesuciannya dan keistiqamahannya,
dia tidak panik karena kepanikan sering kali menimbulkan dorongan, godaan, dan
rangsangan. Dia berbicara sesuai dengan yang dibutuhkan dan tidak lebih dari
itu.
Adapun wanita yang disifati pada zaman dahulu
sebagai wanita yang suka keluyuran adalah wanita yang pada zaman sekarang
disebut sebagai wanita tomboy, membuka aurat, tabarruj (bersolek), campur baur
dengan laki-laki tanpa ada kebutuhan yang dibenarkan syari’at, maka wanita
tersebut adalah wanita yang tidak dididik oleh Al-Qur-an dan adab-adab Islam.
Dia mengganti rasa malu dan ketaatan kepada Allah dengan sifat lancang,
maksiat, dan durhaka, merasuk ke dalam dirinya apa-apa yang diinginkan
musuh-musuh Allah berupa kehancuran dan kebinasaan di dunia dan akhirat.
Nas-alullaah as-salaamah wal ‘aafiyah.[Lihat al-Wâfi fî Syarh al-Arba’în
an-Nawawiyyah
Setiap suami atau kepala rumah tangga wajib
berhati-hati dan wajib menjaga istri dan anak-anak perempuannya agar tidak
mengikuti pergaulan dan mode-mode yang merusak dan menghilangkan rasa malu
seperti terbukanya aurat, bersolek, berjalan dengan laki-laki yang bukan
mahram, ngobrol dengan laki-laki yang bukan mahram, pacaran, dan lain-lain.
Para suami dan orang tua wajib mendidik anak-anak perempuan mereka di atas rasa
malu karena rasa malu adalah perhiasan kaum wanita. Apabila ia melepaskan rasa
malu itu, maka semua keutamaan yang ada padanya pun ikut hilang.
Buah Dari Rasa Malu
Buah dari rasa malu adalah ‘iffah (menjaga
kehormatan). Siapa saja yang memiliki rasa malu hingga mewarnai seluruh amalnya,
niscaya ia akan berlaku ‘iffah. Dan dari buahnya pula adalah bersifat wafa'
Imam Ibnu Hibban al-Busti rahimahullaah
berkata, “Wajib bagi orang yang berakal untuk bersikap malu terhadap sesama
manusia. Diantara berkah yang mulia yang didapat dari membiasakan diri bersikap
malu adalah akan terbiasa berperilaku terpuji dan menjauhi perilaku tercela.
Disamping itu berkah yang lain adalah selamat dari api Neraka, yakni dengan
cara senantiasa malu saat hendak mengerjakan sesuatu yang dilarang Allah. Karena,
manusia memiliki tabiat baik dan buruk saat bermuamalah dengan Allah dan saat
berhubungan sosial dengan orang lain.
Bila rasa malunya lebih dominan, maka kuat pula
perilaku baiknya, sedang perilaku jeleknya melemah. Saat sikap malu melemah,
maka sikap buruknya menguat dan kebaikannya meredup.
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”
Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya seseorang apabila bertambah kuat rasa malunya maka ia akan melindungi kehormatannya, mengubur dalam-dalam kejelekannya, dan menyebarkan kebaikan-kebaikannya. Siapa yang hilang rasa malunya, pasti hilang pula kebahagiaannya; siapa yang hilang kebahagiaannya, pasti akan hina dan dibenci oleh manusia; siapa yang dibenci manusia pasti ia akan disakiti; siapa yang disakiti pasti akan bersedih; siapa yang bersedih pasti memikirkannya; siapa yang pikirannya tertimpa ujian, maka sebagian besar ucapannya menjadi dosa baginya dan tidak mendatangkan pahala. Tidak ada obat bagi orang yang tidak memiliki rasa malu; tidak ada rasa malu bagi orang yang tidak memiliki sifat setia; dan tidak ada kesetiaan bagi orang yang tidak memiliki kawan. Siapa yang sedikit rasa malunya, ia akan berbuat sekehendaknya dan berucap apa saja yang disukainya.”
Semoga bermanfaat....
0 komentar :
Post a Comment