Wisata Ke Bukittinggi, Sumatera Barat
Kota
Bukittinggi adalah kota terbesar kedua di Provinsi Sumatera
Barat, Indonesia. Kota ini pernah menjadi ibu kota Indonesia
pada masa Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia. Kota ini juga pernah menjadi ibu kota Provinsi
Sumatera dan Provinsi Sumatera
Tengah. Bukittinggi pada zaman kolonial Belanda disebut dengan Fort
de Kock dan dahulunya dijuluki sebagai Parijs van Sumatra.
Luas
Bukittinggi secara de jure adalah 145,29 km², mengacu pada Peraturan Pemerintah nomor 84 tahun
1999. Namun secara de facto saat ini, Bukittinggi masih seluas
25,24 km² karena sebagian masyarakat Kabupaten
Agam menolak perluasan wilayah tersebut. Kota Bukittinggi
merupakan salah satu pusat perdagangan grosir terbesar di Pulau Sumatera.
Kota
ini merupakan tempat kelahiran beberapa tokoh pendiri Republik Indonesia, di
antaranya adalah Mohammad Hatta dan Assaat yang
masing-masing merupakan proklamator dan pejabat presiden Republik Indonesia.
Selain sebagai kota perjuangan, Bukittinggi juga terkenal sebagai kota wisata
yang berhawa sejuk, dan bersaudara (sister city) dengan Seremban di Negeri
Sembilan, Malaysia. Tempat wisata yang ramai dikunjungi adalah Jam Gadang,
yaitu sebuah menara jamyang terletak di jantung kota
sekaligus menjadi simbol bagi kota yang berada di tepi Ngarai Sianok.
Sejarah
Kota
Bukittinggi semula merupakan pasar (pekan) bagi masyarakat Agam Tuo. Kemudian
setelah kedatangan Belanda, kota ini menjadi kubu pertahanan mereka untuk melawan Kaum Padri. Pada
tahun 1825, Belanda mendirikan benteng di salah satu bukit yang terdapat di
dalam kota ini. Tempat ini dikenal sebagai bentengFort de Kock, sekaligus menjadi tempat
peristirahatan opsir-opsir Belanda yang berada di wilayah jajahannya. Pada masa
pemerintahan Hindia-Belanda, kawasan ini selalu ditingkatkan
perannya dalam ketatanegaraan yang kemudian berkembang menjadi sebuah stadsgemeente (kota), dan
juga berfungsi sebagai ibu kotaAfdeeling Padangsche Bovenlanden dan Onderafdeeling
Oud Agam.
Pada
masa pendudukan Jepang, Bukittinggi dijadikan sebagai pusat pengendalian
pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera,
bahkan sampai ke Singapuradan Thailand.
Kota ini menjadi tempat kedudukan komandan militer ke-25 Kempetai, di bawah pimpinan
Mayor Jenderal Hirano Toyoji. Kemudian kota ini berganti nama dari Stadsgemeente
Fort de Kock menjadi Bukittinggi Si Yaku Sho yang daerahnya
diperluas dengan memasukkan nagari-nagari sekitarnya seperti Sianok Anam Suku, Gadut, Kapau, Ampang Gadang, Batu Taba, dan Bukit Batabuah. Sekarang nagari-nagari
tersebut masuk ke dalam wilayah Kabupaten
Agam.
Setelah kemerdekaan Indonesia, Bukittinggi
ditetapkan sebagai Ibu Kota Provinsi Sumatera, dengan gubernurnya Mr. Teuku Muhammad Hasan.[10] Kemudian
Bukittinggi juga ditetapkan sebagai wilayah pemerintahan kota berdasarkan
Ketetapan Gubernur Provinsi Sumatera Nomor 391 tanggal 9 Juni 1947.
Pada
masa mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Kota Bukitinggi berperan sebagai
kota perjuangan, ketika pada tanggal 19 Desember 1948 kota ini
ditunjuk sebagai Ibu Kota Negara Indonesia setelah Yogyakarta jatuh
ke tangan Belanda atau
dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik
Indonesia (PDRI). Di kemudian hari, peristiwa ini ditetapkan sebagai Hari Bela
Negara, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 18
Desember 2006.
Selanjutnya
Kota Bukittinggi menjadi kota besar berdasarkan Undang-undang Nomor 9
Tahun 1956 tentang pembentukan daerah otonom kota besar dalam lingkungan daerah Provinsi Sumatera
Tengah masa itu, yang meliputi wilayah Provinsi Sumatera
Barat, Jambi, Riau, dan Kepulauan
Riau sekarang.
Dalam
rangka perluasan wilayah kota, pada tahun 1999 pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah Nomor 84 Tahun 1999 yang isinya menggabungkan nagari-nagari di
sekitar Bukittinggi ke dalam wilayah kota. Nagari-nagari tersebut yaitu Cingkariang, Gaduik, Sianok Anam Suku, Guguak Tabek Sarojo, Ampang Gadang,Ladang Laweh, Pakan Sinayan, Kubang Putiah, Pasia, Kapau, Batu Taba, dan Koto Gadang. Namun, sebagian
masyarakat Kabupaten Agam menolak untuk bergabung dengan Bukittinggi sehingga,
peraturan tersebut hingga saat ini belum dapat dilaksanakan.
Tempat Wisata di Bukittinggi
Jam Gadang
Jam
Gadang adalah nama untuk menara jam yang
terletak di pusat kota Bukittinggi, Sumatera
Barat, Indonesia. Menara jam ini memiliki jam dengan ukuran
besar di empat sisinya sehingga dinamakan Jam Gadang, sebutan bahasa Minangkabau yang berarti "jam
besar".
Selain
sebagai pusat penanda kota Bukittinggi, Jam Gadang
juga telah dijadikan sebagai objek wisata dengan
diperluasnya taman di
sekitar menara jam ini. Taman tersebut menjadi ruang interaksi masyarakat baik
di hari kerja maupun di hari libur. Acara-acara yang sifatnya umum biasanya
diselenggarakan di sekitar taman dekat menara jam ini.
Jembatan
Limpapeh adalah
jembatan gantung di atas Jalan Ahmad Yani, Bukittinggi yang menghubungkan Taman Margasatwa dan Budaya Kinantan dengan benteng Fort de Kock. Bentangan
jembatan memiliki panjang 90 meter dan lebar 3,8 meter. Industri pariwisata merupakan salah satu
sektor andalan Kota Bukittinggi. Banyaknya objek wisata yang menarik,
menjadikan kota ini dijuluki sebagai "kota wisata". Pada tahun 2012,
jumlah wisatawan mancanegara yang mengunjungi kota ini mencapai 26.629 orang. Saat
ini di Bukittinggi terdapat sekitar 60 hotel dan 15 biro perjalanan. Hotel-hotel
yang terdapat di Bukittinggi antara lain The Hills, Hotel Pusako, dan Grand
Rocky Hotel.
Ngarai
Sianok adalah sebuah lembah curam (jurang) yang terletak di perbatasan kota
Bukittinggi,
di kecamatan IV Koto, Kabupaten
Agam, Sumatera Barat. Lembah ini memanjang dan
berkelok sebagai garis batas kota dari selatan ngarai Koto Gadang sampai
ke nagari Sianok Anam Suku, dan
berakhir di kecamatan Palupuh. Ngarai Sianok memiliki pemandangan
yang sangat indah dan juga menjadi salah satu objek wisata andalan
provinsi.
Ngarai
Sianok yang dalam jurangnya sekitar 100 m ini, membentang sepanjang 15 km
dengan lebar sekitar 200 m, dan merupakan bagian dari patahan yang memisahkan pulau
Sumatera menjadi dua bagian memanjang (patahan
Semangko). Patahan ini membentuk dinding yang curam, bahkan tegak
lurus dan membentuk lembah yang hijau—hasil dari gerakan turun kulit bumi
(sinklinal)—yang dialiri Batang Sianok (batang
berarti sungai, dalam bahasa Minangkabau) yang airnya jernih. Di
zaman kolonial Belanda, jurang ini disebut juga
sebagai karbouwengat atau kerbau sanget, karena banyaknya kerbau
liar yang hidup bebas di dasar ngarai ini.
Batang
Sianok kini bisa diarungi dengan menggunakan kano dan kayak yang disaranai
oleh suatu organisasi olahraga air "Qurays". Rute yang ditempuh
adalah dari nagari Lambah sampai jorong Sitingkai nagari Palupuh selama
kira-kira 3,5 jam. Di tepiannya masih banyak dijumpai tumbuhan langka seperti rafflesia dan
tumbuhan obat-obatan. Fauna yang dijumpai misalnya monyet ekor panjang, siamang, simpai, rusa, babi hutan, macan tutul,
dan juga tapir.
Ngarai Sianok
merupakan salah satu objek wisata utama di Sumatera Barat khususnya Bukittinggi.
Taman Panorama yang terletak di dalam kota Bukittinggi memungkinkan wisatawan
untuk melihat keindahan pemandangan Ngarai Sianok. Di dalam Taman Panorama juga
terdapat gua bekas persembunyian tentara Jepang sewaktu Perang Dunia
II yang disebut dengan Lubang Japang. Untuk mengunjungi nagari Koto Gadang di
bawah ngarai, wisatawan bisa melalui Janjang Koto Gadang. Jenjang yang memiliki
panjang sekitar 1 km ini, memiliki desain seperti Tembok Besar China.
Lubang Jepang (juga
dieja Lobang Jepang)
Lubang
Jepang adalah salah satu objek wisata sejarah
yang ada di Kota Bukittinggi, Sumatera
Barat. Lubang Jepang merupakan sebuah terowongan (bunker)
perlindungan yang dibangun tentara pendudukan Jepang sekitar
tahun 1942 untuk
kepentingan pertahanan. Sebelumnya, Lubang Jepang dibangun sebagai tempat
penyimpanan perbekalan dan peralatan perang tentara Jepang, dengan panjang
terowongan yang mencapai 1400 m dan berkelok-kelok serta memiliki lebar sekitar
2 meter. Sejumlah ruangan khusus terdapat di terowongan ini, di antaranya
adalah ruang pengintaian, ruang penyergapan, penjara, dan gudang senjata.
Selain
lokasinya yang strategis di kota yang dahulunya merupakan pusat pemerintahan Sumatera
Tengah, tanah yang menjadi dinding terowongan ini merupakan jenis
tanah yang jika bercampur air akan semakin kokoh. Bahkan gempa yang mengguncang
Sumatera Barat tahun 2009 lalu tidak banyak merusak struktur terowongan.
Diperkirakan
puluhan sampai ratusan ribu tenaga kerja paksa atau romusha dikerahkan
dari pulau Jawa, Sulawesi dan Kalimantan untuk
menggali terowongan ini. Pemilihan tenaga kerja dari luar daerah ini merupakan
strategi kolonial Jepang untuk menjaga kerahasiaan megaproyek ini. Tenaga kerja
dari Bukittinggi sendiri dikerahkan di antaranya untuk mengerjakan terowongan
pertahanan di Bandung dan Pulau Biak.
Lubang
Jepang mulai dikelola menjadi objek wisata sejarah pada tahun 1984, oleh pemerintah kota
Bukittinggi. Beberapa pintu masuk ke Lubang Jepang ini diantaranya terletak
pada kawasan Ngarai Sianok, Taman Panorama, di samping Istana Bung
Hatta dan di Kebun Binatang Bukittinggi.
Di Taman Bundo Kanduang
Bundo Kanduang (diterjemahkan secara kasar ke dalam bahasa Indonesia sebagai Bunda Kandung) adalah personifikasi suku bangsa Minangkabau sekaligus julukan yang diberikan kepada perempuan yang memimpin suatu keluarga dalam Minangkabau baik sebagai ratu maupun selaku ibu dari raja (ibu suri). Di Taman Bundo Kanduang terdapat replika Rumah Gadang yang berfungsi sebagai museum kebudayaan Minangkabau. Kebun Binatang Bukittinggi dan Benteng Fort de Kock, dihubungkan oleh jembatan penyeberangan yang disebut Jembatan Limpapeh. Jembatan penyeberangan Limpapeh berada di atas Jalan A. Yani yang merupakan jalan utama di Kota Bukittinggi.
Pasar Ateh (Pasar Atas)
Pasar
Ateh (Pasar Atas) berada berdekatan dengan Jam Gadang yang
merupakan pusat keramaian kota. Di Pasar Ateh terdapat banyak penjual kerajinan
tangan dan bordir, serta makanan kecil oleh-oleh khas Sumatera Barat,
seperti keripik sanjai (keripik singkong ala
daerah Sanjai di Bukittinggi) yang terbuat dari singkong, karupuak jangek yang
dibuat dari bahan kulit sapi atau kerbau, dan karak kaliang, sejenis makanan
kecil khas Bukittinggi yang berbentuk seperti angka 8.
0 komentar :
Post a Comment